Pragmatisme
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat modern telah muncul sejak abad
ke-14 dan ke-15 yaitu sejak adanya krisis zaman pertengahan. Filsafat modern
ditandai dengan munculnya gerakan renaissance yang mengacu pada gerakan
keagamaan. Seiring perjalanan waktu manusia mulai mengalihkan perhatiannya pada
ilmu pengetahuan yang mengakibatkan nilai filsafat yang makin merosot. Dalam
masa itu hingga awal abad ke-20 muncullah berbagai aliran pemikiran seperti
rasionalisme, empirisme, kritisisme, eksistensialisme, pragmatisme dan
lain-lain.
Sebagai salah satu aliran pemikiran,
pragmatisme telah muncul sejak abad ke-19. Pragmatisme merupakan aliran yang
membenarkan sesuatu berdasarkan manfaatnya secara praktis. Salah satu tokoh
dalam filsafat pragmatisme adalah John Dewey. Oleh karena itu kami merasa
tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana filsafat pragmatisme dan
pemikiran-pemikiran John Dewey tentang pragmatisme yang akan kami bahas dalam
makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian pragmatisme?
2. Bagaimana sejarah terbentuknya
pragmatisme?
3. Bagaimana riwayat hidup John Dewey?
4. Bagaimana pengertian pragmatisme menurut
John Dewey?
5. Bagaimana John Dewey dalam pendidikan?
6. Bagaimana John Dewey dalam rekonstruksionisme?
7. Bagaimana John Dewey dalam futurisme?
8. Bagaimana John Dewey dalam humanisme?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk dapat mengetahui pengertian
pragmatisme.
2. Untuk dapat mengetahui sejarah
terbentuknya pragmatisme.
3. Untuk dapat mengetahui riwayat hidup
John Dewey.
4. Untuk dapat mengetahui pengertian
pragmatisme menurut John Dewey.
5. Untuk dapat mengetahui John Dewey dalam pendidikan.
6. Untuk dapat mengetahui John Dewey dalam
rekonstruksionisme.
7. Untuk dapat mengetahui John Dewey dalam futurisme.
8. Untuk dapat mengetahui John Dewey dalam humanisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma
(bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah aliran
dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah
sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika
segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Misalnya, beragama
sebagai kebenaran, jika agama memberikan kebahagiaan; menjadi dosen adalah
kebenaran jika memperoleh kenikmatan intelektual, mendapatkan gaji, atau apapun
yang bernilai kuantitatif dan kualitatif. Sebaliknya jika memberikan
kemadhorotan, tindakan yang dimaksud bukan kebenaran, misalnya memperistri
perempuan yang sakit jiwa adalah perbuatan yang membahayakan dan tidak dapat di
kategorikan sebagai serasa dengan tujuan pernikahannya dalam rangka mencapai
keluarga sakinah, mawadah warohrah.
B.
Sejarah Terbentuknya Pragmatisme
Filosof yang terkenal sebagai tokoh filasafat
pragmatisme adalah William James, Charles Piere dan John Dewey. Akan
tetapi makalah ini hanya mengulas mengenai pragmatisme menurut John Dewey.
Secara
teoretis, gerakan pragmatisme berawal dari upaya formulasi yang dilakukan oleh
Charles Sanders Peirce, meskipun kemudian pragmatisme dikembangkan oleh William
James. Secara metodologis, pragmatisme akhirnya berhasil diserap oleh
bidang-bidang kehidupan sehari-hari Amerika Serikat berkat kerja keras John
Dewey. Dewey memusatkan perhatiaanya pada masalah-masalah yang menyangkut
etika, pemikiran sosial dan pendidikan. Memang ada begitu banyak pandangan-pandangan
para filsuf yang berhubungan dengan bidang pragmatisme ini, akan tetapi ketiga
tokoh di atas yang populer dan banyak dibicarakan dalam pengembangan
pragmatisme. Peirce dipandang sebagai penggagas pragmatisme, James sebagai
pengembangnya dan Dewey sebagai orang yang menerapkan pragmatisme dalam berbagai
bidang kehidupan.
Warisan ini memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang
terhormat kerena memiliki kekuatan instrinsik yang besar. Warisan ini pulalah
yang telah mendorong para filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang
mengunakan daya nalar spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam
semesta. Akan tetapi, di pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya
begitu menekankan pentingnya pemikiran yang bersifat praksis semata
(empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga rasio
kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen khas
manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan sejarah. Hasil dari
model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di dalamnya
yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Menurut teori klasik tentang kebenaran, dikenal dua posisi
yang berbeda, yakni teori korespondensi dan teori koherensi. Teori
korespondensi menekankan persesuaian antara si pengamat dengan apa yang diamati
sehingga kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran empiris. Sedangkan teori
koherensi menekankan pada peneguhan terhadap ide-ide apriori atau kebenaran
logis, yakni jika proposisi-proposisi yang diajukan koheren satu sama
lain.Secara filosofis, pragmatisme berusaha untuk menjembatani dua aliran filsafat tradisional ini. Atas salah satu
cara, pragmatisme menyetujui apa yang menjadi keunggulan dari empirisme.
William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama
baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap
pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis
oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes
(1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme telah mempengaruhi filsafat
Eropa dalam berbagaibentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun
Neorealisme dan Neopositivisme.
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam
pembahasan mengenai teori kebenaran (theory
of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James,
terutama dalam bukunya The Meaning of The
Truth (1909). Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu
usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat
menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan
usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk
memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya,
yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman
Yunani kuno.[1]
Melihat apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme
mengangkat nilai-nilai positif yang ada pada kedua tradisi tersebut. Prinsip
yang dipegang kaum pragmatis yakni: tidaklah penting bahwa saya menerima teori
ini atau itu; yang penting ialah apakah saya memiliki suatu teori atau nilai
yang dapat berfungsi dalam tindakan. Karena
itulah pragmatisme diartikan sebagai suatu filsafat tentang tindakan. Itu
berarti bahwa pragmatisme bukan merupakan suatu sistem filosofis yang siap
pakai yang sekaligus memberikan jawaban terakhir atas masalah-masa1ah
filosofis. Pragmatisme hanya berusaha menentukan konsekuensi praktis dari
masa1ah-masalah itu, bukan memberikan jawaban final atas masalah-masalah itu.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat,
tentu tidak dapat dilepaskan dari Charles S. Pierce, William Jamess dan John
Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut sama-sama dimasukkan dalam kelompok
aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang
berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William
James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.
Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan
William James.
C.
Riwayat
Hidup John Dewey
John Dewey
adalah seorang filsuf dari Amerika, pendidik dan pengkritik sosial yang
lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859. Dewey kecil adalah seorang yang
gemar membaca namun tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara
teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan
mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons
Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang
filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah
mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya
pragmatisme. Walaupun demikian, pengaruh terbesar darang dari guru dan
sahabatnya G.S. Morris, seorang idealis. Dari tahun 1884 samai 1888, Dewey
mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 ia pindah
ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke
Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan
sampai tahun 1894, ketika ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak
pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian
hari. Ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di
universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang
kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini
ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba
menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia
meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan
mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas
dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah. Selama periode
ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang telah
mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni pendidikan, ia
juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika.
Pengalaman Dewey tidak hanya berhenti sampai di
Universitas Chicago. Terakhir ia berkarya sebagai dosen di Universitas Colombia
dalam tahun 1904. Di universitas ini, Dewey berkarya sebagai seorang profesor
filsafat sampai ia pensiun pada tahun 1929. Dalam periode ini, Dewey banyak
mengadakan perjalanan antara lain ke negara-negara Eropa serta Jepang, Cina,
Meksiko, dan Rusia. Di Jepang, misalnya, ia memberikan kuliah-kuliah dalam
bentuk ceramah yang kemudian akan menjadi dasar pengembangan filsafat
rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga berkunjug ke Turky untuk mengadakan
rekunstruksi terhadap sistem pendidikan yang dijalankan di sana. Hal yang sama
juga dilakukan dalam kunjugannya ke Meksiko dan Rusia dalam tahun 1928.
Sejak ia
berhenti dari universitas Colombia, ia aktif dalam pengembangan filsafat dan
melanjutkan karya-karya doktrinnya.
Dengan berbagai usaha dan kerja yang dilakukannya selama masih bekerja di
universitas-universitas maupun setelah itu, ia kemudian dikenal sebagai seorang
yang mengembangkan filsafat secara baru di Amerika. Pemikirannya banyak
mempengaruhi perkembangan filsafat, politik, pendidikan, religiusitas dan
kesenian di Amerika.
D.
Pragmatisme
Menurut John Dewey
Sebagai
pengikut filasafat pragmatisme, John Dewey (1859-1952 M) menyatakan bahwa tugas
filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak
boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada
faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus
berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara kritis.
Menurutnya, filsafat bertujuan
untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan
manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.
Menurutnya, tidak ada sesuatu
yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan,
segera berfikir untuk mengatasi kesulitan itu. Oleh karena itu, berfikir
merupakan alat (instrument) untuk
bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil-tidaknya
mempengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur
pengalaman dan untuk mengetahui arti yang sebenarnya adalah metode induktif.[2]
John Dewey lebih suka
menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Pengalaman adalah salah
satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena itu filsafat harus
berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis. Dengan demikian,
filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Instrumentalisme ialah suatu
usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep,
pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang
bermacam-macam itu dengan cara menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu
berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai
konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey, kita ini hidup
dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan
sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan
instrumentalisme.
1. Temporalisme : ada gerak dan kemajuan nyata
dalam waktu.
2. Futurisme
: melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin.
3. Milionarisme
:dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita.
Pandangan ini pula yang dianut oleh
William James.
John Dewey mengembangkan lebih jauh
dari Pengembangan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk
memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam
rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang
timbul di awal abad ini. Dewey
menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak
menggunakan pendekatan biologis. Dewey menerapkan pragmatismenya dalam dunia
pendidikan Amerika dengan mengembangkan suatu teori problem solving, yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:
1.Merasakanadanya masalah.
2. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
3. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.
4. Memilih dan menganalisis hipotesis.
5. Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen.
2. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
3. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.
4. Memilih dan menganalisis hipotesis.
5. Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen.
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga
pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide
harus dibuktikan dengan pengalaman.
Demikianlah Pragmatisme bergerak dan menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia.
Demikianlah Pragmatisme bergerak dan menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia.
E.
John Dewey
dalam Pendidikan
Dalam hal
pendidikan, Dewey beranggapan bahwa sekolah merupakan model masyarakat
demokratis dalam bentuk kecil, dimana para siswa dapat belajar dan mempraktikan
keterampilan yang diperlukan untuk hidup dialam demokratis. Melalui pengalaman-pengalaman itu seorang individu
mampu menghadapi dunia luar yang selalu berubah, sebab realitas itu berubah
secara kontans. Ia memandang bahwa memfokuskan perhatian pada penguasaan
pengetahuan yang baku, sebagaimana dilakukan oleh aliran perenialisme dan
esensialisme adalah tidak perlu. Sebagai gantinya, progresifisme mendapatkan
perhatian pada how to think
(bagaimana cara berfikir)daripada menekankan perhatian pada what to think (apa yang harus
dipikirkan). Pengetahuan yang baku atau
prinsip umum yang bersifat permanen, seperti yang dianut oleh perenialisme dan
esensialisme, dianggap tidak perlu, karena tidak responsif terhadap kondisi
pendidikan, individu atau masyarakat yang progresif. Dewey tidak menghendaki adanya norma atau
kaidah yang tetap dan terlebih dahulu ditentukan oleh sejarah atau agama,
karena ia tidak turut campur tangan pada waktu membuatnya. Kaidah harus timbul dari masyarakat sendiri
yang selalu berubah, berganti sesuai dengan keadaan masyarakat sendiri yang
selalu berubah, berganti sesuai dengan masyarakat yang senantiasa mengalami
proses dan pergantian, dari satu zaman ke zaman yang lain.Berkaitan
dengan itu, dalam: Democracy and
Education, Dewey mengatakan:
Sekarang kita sampai pada suatu bentuk
teori yang menyangkal eksistensi daya (berpikir) yang semata-mata menekankan
pada peranan mata pelajaran bagi perkembangan mental dan moral (sebagaimana
dianut oleh perenialisme dan esensialisme). Menurut teori ini, pendidikan itu
bukanlah proses menjelaskan sesuatu dari dalam jiwa, atau merupakan latihan
bagi daya-daya berpikir yang terdapat dalam pikiran itu sendiri. Pendidikan itu
merupakan formasi akal pikiran dengan jalan membentuk hubungan dan asosiasi
tertentu dari materi pelajaran yang dinyatakan/diperoleh dari luar. Formasi
pikiran yang dimaksud di sini memiliki pengertian secara teknis, tergantung
pada ide sesuatu yang berlangsung dari luar (dirinya).
Bahwa pendidikan itu merupakan formasi
akal pikiran dengan jalan membentuk hubungan dan asosiasi tertentu dari luar,
menunjukkan sifat progresif dalam filsafat pendidikannya. Sebab pengaruh atau
factor ekstern bersifat senantiasa berkembang dan berubah. Dari kondisi
tersebut, orang akan mengalami sesuatu yang baru. Dari pengalaman akan timbul
pembelajaran. Pengetahuan diperoleh dari factor intern dan latihan daya pikir
yang bersifat baku, tetap dan statis tidak diperlukan.
Prinsip-prinsip
dasar progresivisme secara singkat telah dirangkum oleh Kneller sebagai
berikut:
1. Pendidikan itu harusnya “kehidupan” itu
sendiri, bukan persiapan untuk hidup.
2.
Belajar harus dikaitkan secara langsung dengan minta
anak.
3. Belajar melalui problem solving harus
didahulukan daripada pengulangan mata pelajaran yang bersifat ketat.
4. Peranan guru bukan untuk menunjukkan,
tapi untuk membimbing.
5. Sekolah mesti meningkatkan upaya
kerjasama, bukan bersaing.
6. Hanya perlakuan yang demokratislah
sesungguhnya dapat meningkatkan peranan ide dan personalitas anak, dan itu
diperlukan bagi kondisi pertumbuhan anak yang benar.[3]
Pemikiran edukatif Dewey berupa
progresifisme itu menghendaki agar pendidikan diselenggarakan secara integral
dengan melibatkan seluruh komponen pendidikan, serta inklusif peserta didik agar
mampu menghadapi perkembangan zaman. Apa yang dilakukan oleh progresivisme
dipandang belum cukup jauh dalam melakukan perubahan sosial. Progresifisme
mengakui bahwa pendidikan harusnya berkembang dan berubah. Namun, belum sampai
pada tatanan masyarakat baru oleh pendidikan. Agar pendidikan mampu membangun
atau merekonstruksi masyarakat, merupakan perkembangan lanjutan progresifisme
yang dinamakan dengan rekonstruksionisme.
F.
John Dewey
dalam Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme yang sering kali
diartikan sebagai rekonstruksi sosial merupakan perkembangan dari gerakan
filsafat pendidikan progresifisme.
Umumnya rekonstruksionisme menganggap bahwa progresivisme belum cukup
jauh berusaha memperbaiki masyarakat.
Mereka percaya progresifisme hanya memperhatikan problema masyarakatpada
saat itu saja, padahal yang diperlukan pada abad kemajuan teknologi yang pesat
ini adalah rekonstruksi masyarakat dan penciptaan tatanan dunia baru secara
menyeluruh. Rekonstruksionisme timbul
sebagai akibat dari pengamatan tokoh-tokoh pendidik terhadap masyarakat Amerika
khususnya, dan masyarakat Barat umumnya, yang menjelang tahun 30an menjadi
kurang menentu. Keadaan masyarakat tidak
sepadan dengan harapan ideal seperti timbulnya kebebasan, kesamaan, dan
persaudaraan. Untuk mengembalikan
keaadaan semula hendaknya pendidikan dapat berperan sebagai instrumen
rekontruksi masyarakat. Dengan demikian,
rekonstruksionisme menaruh perhatian terhadap pendidikan dalam kaitannya dengan
masyarakat. Artinya, bahwa tujuan
pendidikan, kurikulum, metode, peranan guru dan sekolah sebagai lembaga
pendidikan itu hendaknya searah dengan situasi dan kebutuhan masyarakat.
Peserta didik dalam sekolah yang bercorak rekonstruksionisme ini diarahkan supaya
mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan masyarakat dimana ia tinggal. Jadi, orientasi pendidikanya adalah
masyarakat. Imam Barnadib mengartikan
rekonstruksionisme sebagai filsafat pendidikan yang menghendaki agar anak didik
dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara rekonstruktif menyesuaikan diri
dengan tuntunan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya
pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara itu, Arthur K. Ellis[4] menganggap bahwa rekonstruksionisme merupakan perubahan
dari progresivisme dalam pendidikan yang kadang kala diartikan sebagai
rekonstruksi sosial. Penganut aliran
rekonstruksionisme, pada umunya menganggap bahwa progresivisme belum berjalan
cukup jauh dalam mengupayakan perbaikan masyarakat. Mereka menganggap bahwa progresivisme hanya
memerhatikan problematika msyarakat pada saat itu saja (sedang dihadapi),
padahal yang diperlukan di abad kemajuan teknologi yang bergerak demikian cepat
ini adalah upaya rekonstruksi supaya rekonstruksi masyarakat dan penciptaan
tatanan dunia baru secara menyeluruh.
Diantara penduduk lokal aliran ini adalah John Dewey secara jelas,
kecenderungan Dewey pada rekonstruksionisme dapat diketahui dari pertanyaannya.
G.
John Dewey
dalam Futurisme
Bagi Dewey fungsi mata pelajaran dalam
pendidikan adalah untuk menjaga agar proses pendidikan tetap hidup, dan
menjaganya dengan cara yang dapat menimbulkan kemudahan dalam menghadapi
kehidupan dimasa depan.
H. John Dewey dalam Humanisme
Humanisme sebagaimana halnya rekonstruksionisme, menurut skema George R,
Knight, merupakan perkembangan dari progresifisme. Fokus perhatian Humanisme adalah manusia (human). Aspek ini mesti ada dalam pendidikan, walaupun
antara aliran pemikiran kependidikan memliki perbedaan arsepsi dalam memandang
aspek manusianya mereka tetap memiliki obek yang sama yaitu manusia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pragmatisme
dapat dikatan sebagai teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria
tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu
tertentu. Pragmatisme berusaha menguji kebenaran ide ide melalui
konsekuensi-konsekuensi daripada Pratik atau pelaksanaannya. Artinya , ide ide
itu belum dikatakan benar atau salah sebelum diuji.
Kaum
pragmatis tidak berhenti pada perumusan pemikiran, gagasan, teori, pernyataan,
tetapi mengaitkan semua itu dengan tindakan nyata. Pragmatisme
menekankan kesederhanaan, kemudahan, kepraktisan, dampak positif langsung dan
manfaat. Namun, pragmatisme mempersempit kebenaran menjadi terbatas pada
kebenaran yang dapat dipraktekan, dilaksanakan, dan membawa dampak nyata.
B.
Saran
Penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi tercapainya kesempurnaan
penulisan makalah di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim, Atang. 2008.
Filsafat Umum dari Mitologi sampai
Teofilosofi. Bandung: CV.Pustaka Setia.
Comments
Post a Comment