Pragmatisme

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filsafat modern telah muncul sejak abad ke-14 dan ke-15 yaitu sejak adanya krisis zaman pertengahan. Filsafat modern ditandai dengan munculnya gerakan renaissance yang mengacu pada gerakan keagamaan. Seiring perjalanan waktu manusia mulai mengalihkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan yang mengakibatkan nilai filsafat yang makin merosot. Dalam masa itu hingga awal abad ke-20 muncullah berbagai aliran pemikiran seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, eksistensialisme, pragmatisme dan lain-lain.
Sebagai salah satu aliran pemikiran, pragmatisme telah muncul sejak abad ke-19. Pragmatisme merupakan aliran yang membenarkan sesuatu berdasarkan manfaatnya secara praktis. Salah satu tokoh dalam filsafat pragmatisme adalah John Dewey. Oleh karena itu kami merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana filsafat pragmatisme dan pemikiran-pemikiran John Dewey tentang pragmatisme yang akan kami bahas dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian pragmatisme?
2.      Bagaimana sejarah terbentuknya pragmatisme?
3.      Bagaimana riwayat hidup John Dewey?
4.      Bagaimana pengertian pragmatisme menurut John Dewey?
5.      Bagaimana John Dewey dalam pendidikan?
6.      Bagaimana John Dewey dalam rekonstruksionisme?
7.      Bagaimana John Dewey dalam futurisme?
8.      Bagaimana John Dewey dalam humanisme?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk dapat mengetahui pengertian pragmatisme.
2.      Untuk dapat mengetahui sejarah terbentuknya pragmatisme.
3.      Untuk dapat mengetahui riwayat hidup John Dewey.
4.      Untuk dapat mengetahui pengertian pragmatisme menurut John Dewey.
5.      Untuk dapat mengetahui John Dewey dalam pendidikan.
            6. Untuk dapat mengetahui John Dewey dalam rekonstruksionisme. 
            7.      Untuk dapat mengetahui John Dewey dalam futurisme.
8.      Untuk dapat mengetahui John Dewey dalam humanisme.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
            Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Misalnya, beragama sebagai kebenaran, jika agama memberikan kebahagiaan; menjadi dosen adalah kebenaran jika memperoleh kenikmatan intelektual, mendapatkan gaji, atau apapun yang bernilai kuantitatif dan kualitatif. Sebaliknya jika memberikan kemadhorotan, tindakan yang dimaksud bukan kebenaran, misalnya memperistri perempuan yang sakit jiwa adalah perbuatan yang membahayakan dan tidak dapat di kategorikan sebagai serasa dengan tujuan pernikahannya dalam rangka mencapai keluarga sakinah, mawadah warohrah.

B.     Sejarah Terbentuknya Pragmatisme
Filosof yang terkenal sebagai tokoh filasafat pragmatisme adalah William James,  Charles Piere dan John Dewey. Akan tetapi makalah ini hanya mengulas mengenai pragmatisme menurut John Dewey.
Secara teoretis, gerakan pragmatisme berawal dari upaya formulasi yang dilakukan oleh Charles Sanders Peirce, meskipun kemudian pragmatisme dikembangkan oleh William James. Secara metodologis, pragmatisme akhirnya berhasil diserap oleh bidang-bidang kehidupan sehari-hari Amerika Serikat berkat kerja keras John Dewey. Dewey memusatkan perhatiaanya pada masalah-masalah yang menyangkut etika, pemikiran sosial dan pendidikan. Memang ada begitu banyak pandangan-pandangan para filsuf yang berhubungan dengan bidang pragmatisme ini, akan tetapi ketiga tokoh di atas yang populer dan banyak dibicarakan dalam pengembangan pragmatisme. Peirce dipandang sebagai penggagas pragmatisme, James sebagai pengembangnya dan Dewey sebagai orang yang menerapkan pragmatisme dalam berbagai bidang kehidupan.
Warisan ini memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang terhormat kerena memiliki kekuatan instrinsik yang besar. Warisan ini pulalah yang telah mendorong para filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang mengunakan daya nalar spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta. Akan tetapi, di pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan pentingnya pemikiran yang bersifat praksis semata (empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga rasio kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen khas manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan sejarah. Hasil dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di dalamnya yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Menurut teori klasik tentang kebenaran, dikenal dua posisi yang berbeda, yakni teori korespondensi dan teori koherensi.  Teori korespondensi menekankan persesuaian antara si pengamat dengan apa yang diamati sehingga kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran empiris. Sedangkan teori koherensi menekankan pada peneguhan terhadap ide-ide apriori atau kebenaran logis, yakni jika proposisi-proposisi yang diajukan koheren satu sama lain.Secara filosofis, pragmatisme berusaha untuk menjembatani dua aliran filsafat tradisional ini. Atas salah satu cara, pragmatisme menyetujui apa yang menjadi keunggulan dari empirisme. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagaibentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme. 
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909). Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno.[1] 
Melihat apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme mengangkat nilai-nilai positif yang ada pada kedua tradisi tersebut. Prinsip yang dipegang kaum pragmatis yakni: tidaklah penting bahwa saya menerima teori ini atau itu; yang penting ialah apakah saya memiliki suatu teori atau nilai yang dapat berfungsi dalam tindakan. Karena itulah pragmatisme diartikan sebagai suatu filsafat tentang tindakan. Itu berarti bahwa pragmatisme bukan merupakan suatu sistem filosofis yang siap pakai yang sekaligus memberikan jawaban terakhir atas masalah-masa1ah filosofis. Pragmatisme hanya berusaha menentukan konsekuensi praktis dari masa1ah-masalah itu, bukan memberikan jawaban final atas masalah-masalah itu.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut sama-sama dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial. Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James.



C.     Riwayat Hidup John Dewey
John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, pendidik dan pengkritik sosial yang  lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859. Dewey kecil adalah seorang yang gemar membaca namun tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme. Walaupun demikian, pengaruh terbesar darang dari guru dan sahabatnya G.S. Morris, seorang idealis. Dari tahun 1884 samai 1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, ketika ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah. Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika.
Pengalaman Dewey tidak hanya berhenti sampai di Universitas Chicago. Terakhir ia berkarya sebagai dosen di Universitas Colombia dalam tahun 1904. Di universitas ini, Dewey berkarya sebagai seorang profesor filsafat sampai ia pensiun pada tahun 1929. Dalam periode ini, Dewey banyak mengadakan perjalanan antara lain ke negara-negara Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia. Di Jepang, misalnya, ia memberikan kuliah-kuliah dalam bentuk ceramah yang kemudian akan menjadi dasar pengembangan filsafat rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga berkunjug ke Turky untuk mengadakan rekunstruksi terhadap sistem pendidikan yang dijalankan di sana. Hal yang sama juga dilakukan dalam kunjugannya ke Meksiko dan Rusia dalam tahun 1928.
Sejak ia berhenti dari universitas Colombia, ia aktif dalam pengembangan filsafat dan melanjutkan karya-karya doktrinnya. Dengan berbagai usaha dan kerja yang dilakukannya selama masih bekerja di universitas-universitas maupun setelah itu, ia kemudian dikenal sebagai seorang yang mengembangkan filsafat secara baru di Amerika. Pemikirannya banyak mempengaruhi perkembangan filsafat, politik, pendidikan, religiusitas dan kesenian di Amerika.
D.    Pragmatisme Menurut John Dewey
Sebagai pengikut filasafat pragmatisme, John Dewey (1859-1952 M) menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara kritis.
Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.
Menurutnya, tidak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan, segera berfikir untuk mengatasi kesulitan itu. Oleh karena itu, berfikir merupakan alat (instrument) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil-tidaknya mempengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui arti yang sebenarnya adalah metode induktif.[2]
 John Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Pengalaman adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme.
1. Temporalisme : ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu.
2.  Futurisme        : melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin.
3.  Milionarisme  :dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita.
Pandangan ini pula yang dianut oleh William James.
John Dewey mengembangkan lebih jauh dari Pengembangan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis. Dewey menerapkan pragmatismenya dalam dunia pendidikan Amerika dengan mengembangkan suatu teori problem solving, yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:
1.Merasakanadanya masalah.
2. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.                                                               
3. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.
4. Memilih dan menganalisis hipotesis.
5. Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen.
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman.
Demikianlah Pragmatisme bergerak dan menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia.
E.     John Dewey dalam Pendidikan
Dalam hal pendidikan, Dewey beranggapan bahwa sekolah merupakan model masyarakat demokratis dalam bentuk kecil, dimana para siswa dapat belajar dan mempraktikan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dialam demokratis.  Melalui pengalaman-pengalaman itu seorang individu mampu menghadapi dunia luar yang selalu berubah, sebab realitas itu berubah secara kontans. Ia memandang bahwa memfokuskan perhatian pada penguasaan pengetahuan yang baku, sebagaimana dilakukan oleh aliran perenialisme dan esensialisme adalah tidak perlu. Sebagai gantinya, progresifisme mendapatkan perhatian pada how to think (bagaimana cara berfikir)daripada menekankan perhatian pada what to think (apa yang harus dipikirkan).  Pengetahuan yang baku atau prinsip umum yang bersifat permanen, seperti yang dianut oleh perenialisme dan esensialisme, dianggap tidak perlu, karena tidak responsif terhadap kondisi pendidikan, individu atau masyarakat yang progresif.  Dewey tidak menghendaki adanya norma atau kaidah yang tetap dan terlebih dahulu ditentukan oleh sejarah atau agama, karena ia tidak turut campur tangan pada waktu membuatnya.  Kaidah harus timbul dari masyarakat sendiri yang selalu berubah, berganti sesuai dengan keadaan masyarakat sendiri yang selalu berubah, berganti sesuai dengan masyarakat yang senantiasa mengalami proses dan pergantian, dari satu zaman ke zaman yang lain.Berkaitan dengan itu, dalam: Democracy and Education, Dewey mengatakan:
Sekarang kita sampai pada suatu bentuk teori yang menyangkal eksistensi daya (berpikir) yang semata-mata menekankan pada peranan mata pelajaran bagi perkembangan mental dan moral (sebagaimana dianut oleh perenialisme dan esensialisme). Menurut teori ini, pendidikan itu bukanlah proses menjelaskan sesuatu dari dalam jiwa, atau merupakan latihan bagi daya-daya berpikir yang terdapat dalam pikiran itu sendiri. Pendidikan itu merupakan formasi akal pikiran dengan jalan membentuk hubungan dan asosiasi tertentu dari materi pelajaran yang dinyatakan/diperoleh dari luar. Formasi pikiran yang dimaksud di sini memiliki pengertian secara teknis, tergantung pada ide sesuatu yang berlangsung dari luar (dirinya).
Bahwa pendidikan itu merupakan formasi akal pikiran dengan jalan membentuk hubungan dan asosiasi tertentu dari luar, menunjukkan sifat progresif dalam filsafat pendidikannya. Sebab pengaruh atau factor ekstern bersifat senantiasa berkembang dan berubah. Dari kondisi tersebut, orang akan mengalami sesuatu yang baru. Dari pengalaman akan timbul pembelajaran. Pengetahuan diperoleh dari factor intern dan latihan daya pikir yang bersifat baku, tetap dan statis tidak diperlukan.

   Prinsip-prinsip dasar progresivisme secara singkat telah dirangkum oleh Kneller sebagai berikut:
1.      Pendidikan itu harusnya “kehidupan” itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup.
2.      Belajar harus dikaitkan secara langsung dengan minta anak.
3.      Belajar melalui problem solving  harus didahulukan daripada pengulangan mata pelajaran yang bersifat ketat.
4.      Peranan guru bukan untuk menunjukkan, tapi untuk membimbing.
5.      Sekolah mesti meningkatkan upaya kerjasama, bukan bersaing.
6.      Hanya perlakuan yang demokratislah sesungguhnya dapat meningkatkan peranan ide dan personalitas anak, dan itu diperlukan bagi kondisi pertumbuhan anak yang benar.[3]
Pemikiran edukatif Dewey berupa progresifisme itu menghendaki agar pendidikan diselenggarakan secara integral dengan melibatkan seluruh komponen pendidikan, serta inklusif peserta didik agar mampu menghadapi perkembangan zaman. Apa yang dilakukan oleh progresivisme dipandang belum cukup jauh dalam melakukan perubahan sosial. Progresifisme mengakui bahwa pendidikan harusnya berkembang dan berubah. Namun, belum sampai pada tatanan masyarakat baru oleh pendidikan. Agar pendidikan mampu membangun atau merekonstruksi masyarakat, merupakan perkembangan lanjutan progresifisme yang dinamakan dengan rekonstruksionisme.
F.   John Dewey dalam Rekonstruksionisme
     Rekonstruksionisme yang sering kali diartikan sebagai rekonstruksi sosial merupakan perkembangan dari gerakan filsafat pendidikan progresifisme.  Umumnya rekonstruksionisme menganggap bahwa progresivisme belum cukup jauh berusaha memperbaiki masyarakat.  Mereka percaya progresifisme hanya memperhatikan problema masyarakatpada saat itu saja, padahal yang diperlukan pada abad kemajuan teknologi yang pesat ini adalah rekonstruksi masyarakat dan penciptaan tatanan dunia baru secara menyeluruh.  Rekonstruksionisme timbul sebagai akibat dari pengamatan tokoh-tokoh pendidik terhadap masyarakat Amerika khususnya, dan masyarakat Barat umumnya, yang menjelang tahun 30an menjadi kurang menentu.  Keadaan masyarakat tidak sepadan dengan harapan ideal seperti timbulnya kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan.  Untuk mengembalikan keaadaan semula hendaknya pendidikan dapat berperan sebagai instrumen rekontruksi masyarakat.  Dengan demikian, rekonstruksionisme menaruh perhatian terhadap pendidikan dalam kaitannya dengan masyarakat.  Artinya, bahwa tujuan pendidikan, kurikulum, metode, peranan guru dan sekolah sebagai lembaga pendidikan itu hendaknya searah dengan situasi dan kebutuhan masyarakat. Peserta didik dalam sekolah yang bercorak rekonstruksionisme ini diarahkan supaya mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan masyarakat dimana ia tinggal.  Jadi, orientasi pendidikanya adalah masyarakat.  Imam Barnadib mengartikan rekonstruksionisme sebagai filsafat pendidikan yang menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara rekonstruktif menyesuaikan diri dengan tuntunan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi.  Sementara itu, Arthur K. Ellis[4] menganggap bahwa rekonstruksionisme merupakan perubahan dari progresivisme dalam pendidikan yang kadang kala diartikan sebagai rekonstruksi sosial.  Penganut aliran rekonstruksionisme, pada umunya menganggap bahwa progresivisme belum berjalan cukup jauh dalam mengupayakan perbaikan masyarakat.  Mereka menganggap bahwa progresivisme hanya memerhatikan problematika msyarakat pada saat itu saja (sedang dihadapi), padahal yang diperlukan di abad kemajuan teknologi yang bergerak demikian cepat ini adalah upaya rekonstruksi supaya rekonstruksi masyarakat dan penciptaan tatanan dunia baru secara menyeluruh.  Diantara penduduk lokal aliran ini adalah John Dewey secara jelas, kecenderungan Dewey pada rekonstruksionisme dapat diketahui dari pertanyaannya.
G.    John Dewey dalam Futurisme
    Bagi Dewey fungsi mata pelajaran dalam pendidikan adalah untuk menjaga agar proses pendidikan tetap hidup, dan menjaganya dengan cara yang dapat menimbulkan kemudahan dalam menghadapi kehidupan dimasa depan.
H.    John Dewey dalam Humanisme
   Humanisme sebagaimana halnya rekonstruksionisme, menurut skema George R, Knight, merupakan perkembangan dari progresifisme.  Fokus perhatian Humanisme adalah manusia (human).  Aspek ini mesti ada dalam pendidikan, walaupun antara aliran pemikiran kependidikan memliki perbedaan arsepsi dalam memandang aspek manusianya mereka tetap memiliki obek yang sama yaitu manusia.

BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Pragmatisme dapat dikatan sebagai teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Pragmatisme berusaha menguji kebenaran ide ide melalui konsekuensi-konsekuensi daripada Pratik atau pelaksanaannya. Artinya , ide ide itu belum dikatakan benar atau salah sebelum diuji.
Kaum pragmatis tidak berhenti pada perumusan pemikiran, gagasan, teori, pernyataan, tetapi mengaitkan semua itu dengan tindakan nyata. Pragmatisme menekankan kesederhanaan, kemudahan, kepraktisan, dampak positif langsung dan manfaat. Namun, pragmatisme mempersempit kebenaran menjadi terbatas pada kebenaran yang dapat dipraktekan, dilaksanakan, dan membawa dampak nyata.
B.     Saran
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi tercapainya kesempurnaan penulisan makalah di kemudian hari.


















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim, Atang. 2008. Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi. Bandung: CV.Pustaka Setia.















[1] Abdul Hakim, Atang, Filsafat Umum dari Mitologi Sampai Teofilosofi, (Bandung:CV.Pustaka Setia, 2008), hlm.319
[2] Ibid; hlm.320-321
[3]Ellis, Arthur K, Introduction to The Foundation Education, (New York-Eaglewood Cliff: Prentice Hall, 1986), hal.19
[4]Ibid; hal. 120

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Socrates

Ikhlas dan Ridlo

Perkembangan Hubungan Interpersonal, Moral Dan Spiritual Peserta Didik