Perkembangan Hubungan Interpersonal, Moral Dan Spiritual Peserta Didik

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Perkembangan Hubungan Interpersonal
a.      Hubungan dengan keluarga
Keluarga merupakan unit sosial yang terkecil yang memiliki peranan penting dan menjadi dasar bagi perkembangan psikososial anak dalam konteks sosial yamg lebih luas.[1]
i.                    Anak usia sekolah dengan keluarga
Masa usia sekolah dipandang sebagai masa untuk pertama kalinya anak memulai  kehidupan sosial mereka yang sesungguhnya. Bersamaan dengan masuknya anak ke sekolah dasar, maka terjadilah perubahan hubungan anak dengan orang tua. Perubahan tersebut di antaranya disebabkan adanya peningkatan penggunaan waktu yang dilewati anak-anak bersama teman-teaman sebayanya.
Hubungan orang tua dan anak akan berkembang dengan baik apabila kedua pihak saling memupuk keterbukaan. Berbicara dan mendengarkan merupakan hal yang sangat penting untuk rutin dilakukan.
Sesuai dengan perkembangan kognitifnya yang semakin matang, maka pada usia sekolah, anak secara berangsur-angsur lebih banyak mempelajari mengenai sikap-sikap dan motivasi orangtuanya, serta memahami aturan-aturan keluarga, sehingga mereka menjadi lebih mampu untuk mengendalikan tingkah lakunya. Perubahan ini mempunyai dampak yang besar terhadap kualitas hubungan antara anak-anak usia sekolah dan orang tua mereka (dalam Seifert & Hoffnung,1994). Dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan pada tahun-tahun awal kehidupan mereka.
Dengan demikian, meskipun terjadinya pengurangan pengawasan dari orang tua terhadap anaknya selama usia sekolah dasar, bukan berarti orang tua sama sekali melepaskan mereka. Sebaliknya, orang tua masih terus memonitor usaha-usaha yang dilakukan anak dalam memelihara diri mereka, sekalipun secara tidak langsung.
Perubahan-perubahan ini berperan dalam pembentukan stereotip pengasuhan dari orang tua sepanjang usia sekolah dasar.  Dalam hal ini, orang tua memandang pengasuhan hanya meliputi mengurus masalah makanan, atau penerapan beberapan aturan saja. Stereotip pengasuhan demikian jelas tidak mempertimbangkan aktivitas orang tua dan anak yang masih sering dilakukan secara bersama-sama, seperti berbelanja atau menonton televisi bersama-sama. Stereotip pengasuhan ini juga tidak mempertimbangkan hubungan emosional yang mendasari aktivitas-aktivitas tersebut.
  Pada periode ini, orang tua dan anak-anak telah memiliki sekumpulan pengalaman masa lalu bersama, dan pengalaman ini membuat hubungan keluarga menjadi bertambah unik dan penuh arti. Suatu studi mendokumentasikan mengenai gagasan ini dengan menganalisis surat-surat yang di tulis oleh anak-anak usia sekolah pada salah satu surat kabar lokal dengan tema “Apa yang Membuat ibu jadi Terhormat”. Banyak dari anak-anak ini berkata bahwa mereka selamanya menghargai kehadiran ibu dalam kehidupan mereka; “dia selalu hadir untuk mendengarkan”, kata seorang anak.[2]
ii.                  Karakteristik Hubungan Remaja dengan Keluarga
Perubahan-perubahan fisik, kognitif dan sosial yang terjadi dalam perkembangan remaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi orangtua-remaja. Salah satu ciri yang menonjol dari remaja yang memengaruhi relasinya dengan orang tua adalah perjuangan untuk memperoleh otonomi, baik secara fisik dan psikologis. Karena remaja meluangkan lebih sedikit waktunya bersama orang tua dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk saling berinteraksi dengan dunia yang lebih luas, maka mereka berhadapan dengan bermacam-macam nilai dan ide-ide. Seiring dengan terjadinya perubahan kognitif selama masa remaja, perbedaan ide-ide yang dihadapi sering mendorongnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai dan pelajaran-pelajaran yang berasal dari orang tua. Akibatnya, remaja mulai mempertanyakan dan menentang pandangan-pandangan orang tua serta mengembangkan ide-ide mereka sendiri. Orang tua tidak lagi dipandang sebagai otoritas yang serba tahu. Secara optimal, remaja mengembangkan pandangan-pandangan yang lebih matang dan realistis dari orang tua mereka. Kesadaran bahwa mereka adalah seorang yang memiliki kemampuan, bakat, dan pengetahuan tertentu, mereka memandang orang tua sebagai orang yang harus dihormati, dan sekaligus sebagai orang yang dapat berbuat kesalahan.
Beberapa penelitian tentang perkembangan anak remaja menyatakan bahwa pencapaian otonomi psikologi merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting dari masa remaja. Akan tetapi, terdapat perbedaan mengenai tipe lingkungan keluarga yang lebih kondusif bagi perkembangan otonomi ini. Sejumlah teorotis dan penelitian kontemporer menyatakan bahwa otonomi yang baik berkembang dari hubungan orang tua yang positif dan suportif. Menurut mereka, hubungan orang tua yang suportif memungkinkan untuk mengungkapkan perasaan positif dan negatif, yang membantu perkembangan kompetensi sosial dan otonomi yang bertanggung jawab.
Belakangan, para ahli perkembangan mulai menjelajahi peran keterikatan yang aman (secure attachment) dengan orang tua terhadap perkembangan remaja. Mereka yakin bahwa keterikatan dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosialnya, seperti tercermin dalam ciri-ciri: harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik. Misalnya remaja yang memiliki hubungan yang nyaman dan harmonis dengan orang tua mereka, memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik. Sebaliknya, ketidak dekatan (detachment) emosional dengan orang tua berhubungan dengan perasaan-perasaan akan penolakan oleh orang tua yang lebih besar serta perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantik yang dimiliki diri sendiri.
Dengan demikian, keterikatan dengan orang tua selama masa remaja dapat berfungsi adaptif, yang menyediakan landasan yang kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis. Keterikatan yang kokoh dengan orang tua akan meningkatkan relasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten dan hubungan erat yang positif di luar keluarga. Keterikatan yang kokoh dengan orang tua jiga dapat menyangga remaja dari kecemasan dan perasaan-perasaan depresi sebagai akibat dari masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa.[3]
b.      Hubungan dengan Teman Sebaya
The social relations of children and adolescents are centered on their friends as well as their families,” sebab bagaimana pun bagi anak usia sekolah, teman sebaya (peer) mempunyai fungsi yang hampir sama dengan orang tua.
i.                     Karakteristik Hubungan Anak Usia Sekolah dengan Teman Sebaya
Seperti halnya dengan masa awal anak-anak, berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu anak selama masa pertengahan dan akhir anak-anak. Barker dan wright mencatat bahwa anak-anak usia 2 tahun menghabiskan 10% dari waktu siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Pada usia 4 tahun, waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teman sebaya meningkat menjadi 20%. Sedangkan anak usia 7 hingga 11 meluangkan lebih dari 40% waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebaya.
ii.                  Pembentukan Kelompok
Interaksi teman sebaya dari kebanyakan anak usia sekolah ini terjadi dalam grup atau kelompok, sehingga periode ini sering disebut “usia kelompok”. Pada masa ini, anak tidak lagi puas bermain sendiri di rumah, atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan anggota keluarga. Hal ini adalah karena anak memiliki keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok, serta merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya.
Dalam menentukan sebuah kelompok,teman, anak usia sekolah dasar ini lebih menekankan pada pentingnya aktivitas bersama-sama, seperti berbicara, berkeluyuran, berjalan ke sekolah, berbicara melalui telepon, mendengarkan musik, bermain game, dan melucu. Tinggal di lingkuan yang sama, bersekolah di sekolah yang sama, dan berpartisipasi dalam organisasi masyarakat yang sama, merupakan dasar bagi kemungkinan terbentuknya kelompok teman sebaya. Ketika anak berusia 6 hingga 7 tahun, kelompok teman sebaya tidak lebih dari pada kelompok bermain; mereka memiliki sedikit peraturan dan tidak terstruktur untuk menjelaskan peran dan kemudahan berinteraksi di antara anggota-anggotanya. Kelompok terbentuk secara spontan. Ketika anak berusia 9 tahun, kelompok-kelompok menjadi lebih formal. Sekarang anak-anak berkumpul menurut minat yang sama dan merencanakan perlombaan-perlombaan. Mereka membentuk klub atau perkumpulan dengan atauran-aturan tertentu. Kelompok-kelompok ini mempunyai keanggotaan inti; masing-masing anggota harus berpartisipasi dalam aktivitas kelompok, dan yang bukan anggota di keluarkan.
iii.                 Popularitas, Penerimaan sosial, dan Penolakan
Pada anak usia sekolah dasar mulai terlihat adanya usaha untuk mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan berbagai cara. Para ahli psikologi perkembangan telah lama mempelajari pembentuk kelompok teman sebaya dan status dalam kelompok untuk mengetahui anak-anak yang cenderung menjadi populer. Para peneliti melakukan penelitian yang di gunakan untuk mencetuskan status dan penerimaan sosial anak di antara teman sebayanya. Dalam hal ini, mereka secara khas menanyakan kepada anak-anak yang tergabung dalam suatu organisasi, tentang mana anak-anak yang pantas dikelompokkan sebagai “teman baik”, yang “paling disukai oleh anak-anak lain”, atau yang “kurang disukai”. Atas dasar jawaban dari anak-anak tersebut, para peneliti menyusun sebuah sosiogram, yaitu suatu diagram yang menggambarkan interaksi anggota suatu kelompok, atau bagaimana perasaan masing-masing anak dalam suatu kelompok terhadap anak-anak lain. Berdasarkan informasi ini, kemudian para peneliti membedakan anak-anak atas dua, yaitu anak-anak yang populer (popular) dan anak-anak yang tidak populer (unpopular).
Anak yang Populer. Popularitas seorang anak ditentukan oleh berbagai kualitas pribadi yang dimilikinya. Hartup (1983) mencatat bahwa anak yang populer adalah anak yang ramah, suka bergaul, bersahabat, sangat peka secara sosial, dan sangat mudah bekerja sama dengan orang lain. Asheir et al.,1982 (dalam Seifert & Huffnung,1994), juga mencatat bahwa anak-anak yang populer adalah anak-anak yang dapat menjalin interaksi sosial dengan mudah, memahami situasi sosial, memiliki keterampilan yang tinggi dalam hubungan antarpribadi dan cenderung bertindak dengan cara-cara yang koopratif, prososial, serta selaras dengan norma-norma kelompok.popularitas juga dihubungkan dengan IQ dan prestasi akademik.
Anak yang tidak populer. Dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu: anak-anak yng ditolak (rejected children), dan anak-anak yang diabaikan (neglected children) . anak-anak yang diabaikan adalah anak yang menerima sedikit perhatian dari teman-teman sebaya mereka, tetapi bukan berarti mereka tidak disenangi oleh teman-teman sebayanya. Anak-anak yang yang ditolak adalah anak-anak yang tidak disukai oleh teman-teman sebaya mereka. Mereka cenderung bersifat menggangngu, egois, dan mempunyai sedikit sifat-sifat positif.[4]
c.       Persahabatan
Karakteristik lain dari pola hubungan anak usia sekolah dengan teman sebayanya adalah munculnya keinginan untuk menjalin hubungan pertemanan yang lebih akrab atau yang dalam kajian psikologi perkembangan disebut dengan istilah friendship (persahabatan).
Menurut McDevitt dan Ormrod (2002), terdapat tiga kualitas yang membedakan persahabatan dengan bentuk hubungan teman sebaya lainnya, yaitu:
1.      They are voluentary relationships (adanya hubungan yang dibangun atas dasar sukarela).
2.      They are powered by shared routines and customs (hubungan persahabatan dibangun atas dasar kesamaan kebiasaan).
3.      They are reciprocal relationships (persahabatan dibangun atas dasar hubungan timbal balik).

Persahabatan memainkan peranan yang penting dalam perkembangan psikososial anak (Rubin, 1980), diantaranya:
1.      Sahabat memberi kesempatan kepada anak untuk mempelajari keterampilan-keterampilan tertentu. Sahabat mengajarkan pada anak mengenai bagaimana berkomunikasi satu sama lain, sehingga akan memperoleh pengalaman belajar untuk mengenai kebutuhan dan minat orang lain, serta bagaimana bekerjasama dan mengelola konflik dengan baik.
2.      Persahabatan memungkinkan anak untuk membandingkan dirinya dengan individu lain, karena anak biasanya menilai dirinya berdasarkan perbandingan dengan anak lain.
3.      Persahabatan mendorong munculnya rasa memiliki terhadap kelompok. Pada usia 10-11 tahun, kelompok menjadi penting,. Anak menemukan sebuah organisasi sosial yang tidak hanya terdiri atas sekumpulan individu, tetapi juga mencakup adanya peran-peran, partisipasi kolektif, dan dukungan kelompok untuk melakukan aktivitas-aktivitas kelompok.
Sementara itu,Santrock (1998) menyebutkan enam fungsi penting dari persahabatan, yaitu:
1.      Sebagai kawan (compsnionship), dimana persahabatan memberi anak seorang teman yang akrab, teman yang bersedia meluangkan waktu bersama mereka dan bergabung dalam melakukan kegiatan-kegiatan bersama.
2.      Sebagai pendorong (stimulation) dimana persahabatan memberikan pada anak informasi-informasi yang menarik, kegembiraan dan hiburan.
3.      Sebagai dukungan fisik (physical support), dimana persahabatan memberikan waktu, kemampuan-kemampuan dan pertolongan.
4.      Sebagai dukungan ego (ego support), dimana persahabatan menyediakan harapan atau dukungan, dorongan dan umpan balik yang dapat membantu anak mempertahankan kesan atas dirinya sebagai individu yang mampu, menarik dan berharga.

Persahabatan merupakan salah satu fenomena interaksi sosial yang penting bagi anak usia sekolah. Anak-anak usia 8 tahun, terutama anak perempuan, biasanya telah memiliki beberapa teman dari sejumlah kegiatan yang berbeda. Oleh karena itu, tak jarang persahabatan datang dan pergi hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, anak usia 10 tahunan mulai lebih memerhatikan kualitas hubungan persahabatannya. Mereka sudah lebih terampil bersosialisasi, sudah dapat menghargai nilai kedekatan serta ketergantungan satu sama lain. Hal ini terjadi karena pada usia ini emosi anak sudah mulai cukup matang untuk berempati, sehingga mereka juga mulai mencoba untuk berbagai rasa dan pikiran dengan teman-teman tertentu. Dibanding pada usia sebelumnya, kualitas persahabatan pada usia ini lebih kompleks dan berlangsung lama.[5]
d.      Hubungan dengan Sekolah
Bagi seorang anak, memasuki dunia sekolah merupakan pengalaman yang menyenangkan, namun sekaligus mendebarkan, penuh tekanan, dan bahkan bisa menyebabkan timbulnya kecemasan. Bagi banyak anak, pengalaman masuk sekolah merupakan saat-saat pertama mereka menyesuaikan diri dengan pola kelompok, yang diatur oleh satu orang dewasa, yaitu guru.
Sekolah merupakan lingkungan artifisial yang sengaja dibentuk guna mendidik dan membina generasi muda ke arah tujuan tertentu, terutama untuk membekali anak dengan pengetahuan dan kecakapan hidup (life skill) yang di butuhkan di kemudian hari. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan anak-anak dan remaja. Remaja dewasa ini menghabiskan hampir sepertiga waktunya berada di sekolah, apalagi yang menggunakan sistem full day school.
Dusek (1991) mencatat ada dua fungsi utama sekolah bagi remaja, yaitu: pertama, memberi kesempatan bagi remaja untuk tumbuh secara sosial dan emosional.; kedua, membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi orang yang mandiri secara ekonomi dan menjadi anggota masyarakat yang produktif.
Sekolah dapat memengaruhi perkembangan anak, terutama perkembangan identitas, melalui dua kurikulum, yaitu kurikulum formal dan kurikulum informal. Kurikulum formal meliputi sejumlah tuntunan akademik, yang dapat membantu anak memperoleh pengetahuan akademis dan kemampuan intelektual yang dibutuhkan untuk keberhasilan berpartisipasi dalam masyarakat. Sedangkan kurikulum informal meliputi sejumlah prilaku yang ditampilan oleh para guru, yang berkenaan dengan prestasi akademis, motivasi belajar, penguasaan keterampilan, peningkatan diri, serta pengembalian tanggung jawab, kepemimpinan, dan otoritas.
Jadi, disamping keluarga dan teman sebaya, sekolah juga memainkan peranan yang sangat penting bagi pekembangan anak. Sebagai anggota suatu komunitas kecil,(a mini society) yang bernama sekolah, anak dihadapkan pada sejumlah tugas dan keharusan untuk mengikuti sejumlah aturan yang membatasi prilaku, perasaan dan sikap mereka. Interaksi dengan guru dan teman sebaya di sekolah, memberikan suatu peluang yang besar bagi remaja untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan keterampilan sosial, memperoleh pengetahuan tentang dunia, serta mengembangkan konsep diri yang lebih positif.[6]
2.      Teori –teori Perkembangan Moral
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi menngenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.  Anak-anak kita dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk di kembangkan.
1.      Psikoanalisa
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagian struktur kepribadian manusia atas tiga, yaitu: id, ego dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak mmiliki moralitas. Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek  sosial yang berisikan sistem nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan “benar” atau “salahnya” sesuatu.
Menurut teori psikoanalisa klasik Frued, semua orang mengalami konflik oedipus. Konflik ini akan menghasilkan pembentukan struktur kepribadian yang dinamakan Frued sebagai superego. Ketika anak mengalami konfik oedipus ini, maka perkembangan moral mulai. Salah satu alasan mengapa anak mengatasi konflik oedipus adalah perasaan khawatir akan kehilangan kasih sayang orang tua dan ketakutan akan di hukum karena keinginan seksual mereka yang tidak dapat diterima terhadap orang tua yang berbeda jenis kelamin.
Struktur superego ini mempunyai dua komponen, yaitu ego ideal kata hati (conscience). Kata hati menggambarkan bagian dalam atau kehidupan mental seseorang, peraturan-peraturan masyarakat, hukum, kode, etika, dan moral. Pada usia kira-kira 5 tahun perkembangan superego secara khas akan menjadi sempurna. Ketika hal ini terjadi, maka suara hati terbentuk. Ini berarti bahwa pada usia sekitar 5 tahun orang sudah menyelesaikan pengembangan moralnya (Lerner & Hultsch 1983).[7]
2.      Belajar Sosial
Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons atas stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman, dan peniruan digunakan untuk menjelaskan prilaku moral anak-anak. Bila anak di beri hadiah atas prilaku yang sesuai dengan peraturan dan kontrak sosial, mereka akan mengulangi prilaku tersebut. Sebaliknya, bila mereka di hukum atas perilaku yang tidak bermoral, maka prilaku itu akan berkurang atau hilang.
3.      Piaget
Teori kognitif piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip-prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi piaget perkembangan moral digambarkan melalui aturan permainan. Karena itu, hakikat moralitas adalah kecenderungan untuk menerima dan menaati sistem peraturan. Piaget menyimpulkan bahwa pemikiran anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan atas dua tahap, yaitu tahap heteronomous morality dan autonomous morality.
Heteronomous morality atau morality of constraint ialah tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 6 hingga 9 tahun. Dalam tahap berpikir ini, anak-anak menghormati ketentuan-ketentuan suatu permainan sebagai sesuatau yang bersifat suci dan tidak dapat dirubah., karena berasal dari otoritas yang dihormati. Anak-anak pada masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu peraturan dilanggar, hukuman akan segera dijatuhkan.
Autonomous morality atau morality of cooperation ialah tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak-anak usia kira-kira 9 hingga 12 tahun. Pada tahap ini anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum merupakan ciptaan manusia dan dalam menerapkan suatu hukuman atas suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya. Bagi anak-anak dalam tahap ini, peraturan-peraturan hanyalah masalah kenyamanan dan kontrak sosial yang telah di setujui bersama, sehingga menerima dan mengakui perubahan menurut kesepakatan. Dalam tahap ini, anak juga meninggalkan penghormatan sepihak kepada otoritas dan mengembangkan penghormatan kepada teman sebayanya.
4.      Kohlberg
Teori kohlberg tentang perkembangan moral merupakan perluas, modifikasi, dan redefeni atas teori piaget. Teori ini didasarkan atas analisisnya terhadap hasil wawancara dengan anak laki-laki usia 10 hingga 16 tahun yang dihadapkan pada suatu dilema moral, dimana mereka harus memilih antara tindakan mentaati peraturan atau memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan peraturan.
Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga tingkatan (level), yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap (stage). Kohlberg setuju dengan piaget yang menjelaskan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang di peroleh dari pengalaman. Tetapi tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan dari anak-anak.
Hal penting lain dari teori kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahapperkembangan moral seseoran, akan semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya.
3.      Perkembangan Spiritualitas
a.       Pengertian spiritualitas
Kata spiritualitas berasal dari bahasa Inggris yaitu “spirituality”, kata dasarnya “spirit” yang berarti: “roh, jiwa, semangat”. Kata spirit sendiri berasal dari kata Latin “spiritus” yang berarti: “luas atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan (courage), energi atau semangat (vigor), dan kehidupan. Kata sifat spiritual berasal dari kata Latin spiritualis yang berarti “of the spirit” (kerohanian).
Definisi tentang spiritualis meliputi komunikasi dengan Tuhan dan upaya seseorang bersatu dengan Tuhan. Tillich (1959) menulis bahwa spiritualis merupakan persoalan pokok manusia dan pemberi makna substansi dari kebudayaan. Witmer (1989) mendefinisikan spiritualis sebagai suatu kepercayaan akan adanya suatu kekuatan atau suatu yang lebih agung dari diri sendiri. Bollinger (1969) menggambarkan kebutuhan spiritual sebagai kebutuhan terdalam dari diri seseorang apabila terpenuhi individu akan menemukan identitas dan makna hidup yang penuh arti. Booth (1992) menjelaskan bahwa spiritualitas adalah suatu sikap hidup yang memberi penekanan pada energi, pilihan kreatif dan kekuatan penuh bagi kehidupan serta menekankan pada upaya penyatuan diri dengan suatu kekuatan yang lebih besar dari individual, suatu cocreatorship dengan Tuhan. May (1988) menyebutkan bahwa spirit manusia “is the source of our yearning as well as our very life”. Schaef (1992) menyamakan spiritualitas dengan ketenangan hati (sobriety) dan hidup dalam proses (living in process), yang diartikan sebagai perjalanan, peroses dan kelangsungan hidup kita.
Dengan mengutip mengutip hasil penelitian Martsolf dan Mickley, Aliah B. Purwakania Hasan meneyebutkan beberapa kata kunci yang bisa dipertimbangkan, yaitu:
1.      Meaning (makna). Makna merupakan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan manusia, merasakan situasi, memiliki dan mengarah pada suatu tujuan.
2.      Values (nilai-nilai). Nilai-nilai adalah kepercayaan, standar dan etika yang dihargai.
3.      Transcendence (transendensi). Transendensi merupakan pengalaman, kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi transendental bagi kehidupan di atas diri seseorang.
4.      Connecting (bersambung). Bersambung adalah meningkatkan kesadaran terhadap hubungan dengan dengan diri sendiri, orang lain, Tuhan dan alam.
5.      Becoming (menjadi). Menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut refleksi dan pengalaman, termasuk siapa seseorang dan bagaimana seseorang mengetahui.[8]
b.      Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Pesarta Didik
Dalam studi perkembangan, teman tentang spiritualitas tidak banyak di bahas oleh para ahli psikologis. Kalaupun ada beberapa ada beberapa buku yang menempatkan spiritualitas atau agama sebagai aspek penting bagi perkembangan manusia, tetapi pembahasannya sangat sederhana dan tidak banyak didukung oleh data penelitian.
            Teori Perkembangan Spiritual Fowler
Fowler adalah perintis teori mengenai tahap perkembangan kepercayaan, yang dimaksudkan untuk menunjukkan penelitian empiris dan refleksi teoritis yang sementara ini diakui secara Internasional sebagai psikologi agama yang sangat penting. Konsep tentang spiritualitas dan kepercayaan yang digunakan Fowler merujuk pada apa yang dikemukanan oleh Wilfred Cantwell Smith, bahwa kepercayaan eksistensial merupakan kualitas pribadi, yaitu suatu orientasi kepribadian seseorang yang menanggapi nilai dan kekuasaan tresenden, orientasi terhadap dirinya, sesamanya dan alam semesta yang dilihat dan dipahami lewat bentuk-bentuk tradisi komulatif.
            Fowler (1978) menyebut kepercayaan sebagai sesuatu yang universal, ciri dari seluruh hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai orang yang percaya dan orang yang berkeagamaan atau sebagai orang yang tidak percaya pada apapun. Dalam hal ini tampak kepercayaan tidak harus dipahami sebagai kepercayaan religius semata, tetapi terutama sebagai kepercayaan hidup atau yang oleh Fowler disebut sebagai kepercayaan eksistensial atau dalam bahasa agama disebut sebagai Iman.
            Fowler percaya bahwa spiritualitas dan kepercayaan dapat berkembangan hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional yang dicapai oleh seseorang. Ketujuh tahap perkembangan itu adalah:
(1)   Prima faith; (2) intuitive-projective faith; (3) mythic-literal faith; (4) synthetic-conventional faith; (5) individuative-reflective faith; (6) conjuctive faith; (7) universalizing faith (Dacey & Kenny,1997).[9]
c.       Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual terhadap Pendidikan
Sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan moral dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang moralis dan religius. Beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan guru disekolah dalam membantu perkembangan moral dan spiritual peserta didik.
1.      Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara keseluruhan.
2.      Memberikan pendidikan moral secara langsung (direct moral education), yakni pendidikan moral dengan pendekatan pada nilai dan juga sifat selama jangka waktu tertentu atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut kedalam kurikulum.
3.      Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai (values clarification), yaitu pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari.
4.      Menjadikan pendidikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi pada pengalaman keberagamaan.
5.      Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual parenting, seperti:
Ø  Memupuk hubungan sadar anak dengan Tuhan melalui do’a setiap hari.
Ø  Menanyakan kepada anak bagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
Ø  Memberikan kesadaran kepada anak bahwa Tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta.
Ø  Menyuruh anak merenungkan bahwa Tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak daoat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak melihat apapun.[10]
  






[1] Desmita, psikologi perkembangan peserta didik, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA,2013), hal.219
[2] Desmita, psikologi perkembangan peserta didik, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA,2013),hal. 220
[3] Ibid.,hal. 223
[4] Ibid., hal.226
[5] Ibid., hal. 229
[6] Ibid., hal. 234
[7] Ibid., hal. 259
[8] Ibid., hal. 265
[9] Ibid ., hal. 279
[10] Ibid., hal.287


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Hubungan interpersonal dapat diartikan sebagai hubungan antar pribadi. Interaksi social menjadi faktor utama dalam hubungan interpersonal antara dua orang atau lebih yang saling mempengaruhi. Menurut knapp (1984), interaksi social dapat menyebabkan seseorang menjadi dekat dan merasakan kebersamaan, namun sebaliknya dapat pula menjadikan seseorang menjadi jauh dan tersisih dari suatu hubungan nterpersonal.
Pada awalnya seorang anak yang baru dilahirkan tidak memiliki moral (imoral), namun didalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan , yakni melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara, teman sebaya, guru dan lain-lain). Dari pengalaman itulah didapatkan pengetahuan mana perilaku yang baik yang boleh dikerjakan dan mana perilaku yang buruk yang harus ditinggalkan.
Agama dan spiritualitas merupakan dua hal yang berbeda namun memiiliki kaitan yang sangat erat. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri dan kesadaran individu tentang asal, tujuan, dan nasib. Agama adalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik di dunia. Agama merupakan serangkaian praktik perilaku tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu dan dianut oleh anggota-anggotanya. Agama memiliki kesaksian iman, komunitas dank ode etik. Dengan kata lain, spiritualitas memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (perilaku atau tindakan).

B.     SARAN
     Dengan mengucapkan Alhamdulilah, bab demi bab sudah kami bahas dan dapat menyelesaikannya. Namun dalam penyusunannya mungkin masih ada kekurangan yang mungkin dikarenakan kurangnya pengetahuan kami, akan tetapi besar harapan maupun kritikan yang sifatnya dapat menyempurnakan makalah ini.

     Demikian kiranya yang dapat kami persembahkan didalam makalah ini, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca. 


DAFTAR PUSTAKA
Desmita.2013.psikologi perkembangan peserta didik.Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA

Comments

Popular posts from this blog

Kebijakan Socrates

Ikhlas dan Ridlo