Kebijakan Socrates
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senantiasa terkagum atas
apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh
panca-indranya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak
yang berpaling kepada agama atau kepercayaan ilahiah.
Tetapi
sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh takwa itu tidak menahan
manusia menggunakan akal budi dan pikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya
yang ada dibalik segala kenyataan (realitas)
itu. Proses mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan.
Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis, dan koheren, dan cara
mendapatkannya dapat dipertanggung jawabkannya, makalah lahirlah ilmu
pengetahuan.
Jauh
sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang ini kita sebut
sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran,
fisika, matematika, dan lain sebagainya. Umat manusia lebih dulu memikirkan
dengan bertanya berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka
itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.
Kegiatan
manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yng merupakan
pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia.
Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan
kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran.
A. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
kebijakan Socrates?
2.
Apa maksud
kebijakan Socrates yang disebut dengan Gnoti
Seauton?
3.
Apa maksud
kebijakan Socrates yang disebut dengan Maieutica
Technic?
B. Tujuan Penulisan
1.
Untuk dapat
mengetahui kebijakan Socrates.
2.
Untuk dapat
mengetahui kebijakan Socrates yang disebut dengan Gnoti Seauton.
3.
Untuk dapat
mengetahui kebijakan Socrates yang disebut dengan Maieutica-Techni.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. KEBIJAKAN
SOCRATES
Filsuf
Yunani yang hidup pada tahun 469-399 sebelum Masehi. Pendapatnya:
Membangkitkan
dalam diri manusia rasa cinta akan kebenaran dan kebaikan (Philosophia) yang
membantu manusia berpikir dan hidup lurus.
Semboyannya:
“Gnothi Seauthon” artinya “Kenalilah Dirimu”. Semboyan ini diabadikan oleh bangsa
Yunani yang dituliskan pada pintu gerbang masuk Kota Yunani.[1]
Dengan
keteguhan pendiriannya ia rela dihukum mati oleh penguasa melalui pengadilan
dengan cara minum racun. Ajaran bahwa semua kebenaran itu relative telah
menggoyahkan teori-teori Sains yang telah mapan, mengguncangkan keyakinan
agama. Ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan dalam kehidupan. Inilah
sebabnya Socrates harus bangkit. Ia harus meyakinkan orang Athena bahwa tidak
semua kebenaran itu relative; ada kebenaran yang umum yang dapat dipegang oleh
semua orang. Sebagian kebenaran memang relatif, tetapi tidak semuanya.
Sayangnya, Socrates tidak meninggalkan tulisan. Ajarannya kita peroleh dari
tulisan murid-muridnya, terutama Plato. Kehidupan Socrates (470-399 SM) berada
di tengah-tengah keruntuhan imperium Athena. Tahun terakhir hidupnya sempat
menyaksikn keruntuhan Athena oleh kehancurn orang-orang Oligarki dan
orang-orang Demokratis. Disekitarnya dasar-dasar lama remuk, kekuasaan jahat
mengganti keadilan disertai munculnya penguasa-penguasa politik yang menjadi
orang-orang sombong dibandingkan dengan sebelumnya.
Pemuda-pemuda
Athena pada masa ini dipimpin oleh Doktrin Relativisme dan Kaum Sofis,
sedangkan Socrates adalah seorang penganut moral yang absolute dan meyakini
bahwa menegakkan moral merupakan tugas filosof, yang berdasarkan ide-ide
rasional dan keahlian dalam pengetahuan.
Antara
tahun 421 dan 416 SM adalah masa-masa buruknya hubungan antara Athena dan
Sparta. Periode ini menyaksikan kebangkitan Alciblades, salah seorang murid
Socrates. Akan tetapi, ia pula yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
kehancuran Athena. Ia bertanggung jawab atas kekalahan Athena di Syracuse 413
SM. Beberapa Negara kecil dating merampok Athena. Revolusi ini menandai mulai
hancurnya Athena. Delapan tahun kemudian orang-orang Sparta, dibawah komandonya
Lysander, menghancurkan Athena tahun 404 SM perang Peloponesia berakhir,
menghasilkan Athena takluk dibawah Sparta. Antara tahun 404-403 Partai Oligarki
menguasai Athena. Tiga tiran berkuasa dengan tangan besi dan menggunakan metode
terror Tahun 403 SM demokrasi untuk terakhir kalinya dicoba dibangun, tetapi
itu bukanlah pemerintahan yang bijaksana. Di bawah sponsor merekalah pada tahun
399 SM Socrates dituduh dengan dua tuduhan yaitu, Merusak pemuda dan menolak
Tuhan-tuhan Negara.
Akan
tetapi, Kiekegaard, Bapak Eksisteanfisme Modern,
yang mengagumi Socrates dan ia menjadikan filsafat Socrates sebagai model
filsafatnya. Kiekegaard menulis disertai tentang filsafat Socrates. Socrates amat berarti bagi Kiekegaard karena Socrates
secara kontans menentang orang-orang sofis pada zaman itu. Ia menekankan bahwa
banyak filosof abad ke Sembilan belas, khususnya Hegel, pada dasarnya menganut
paham yang sama dengan orang sofis.
Untuk memebuktikan tuduhan itu Socrates diadili oleh
pengadilan Athena pidato pembelaanya yang ditulis oleh Plato, berjudul Apollogis termasuk salah satu bahan
penting untuk mengetahui ajaran Socrates. Dalam pengadilan itu
Socrates dinyatakan bersalah dengan mayoritas 60 suara, 250 melawan 220 (281
lawan 220 menurut Hasan, 1973: 74)[2] Ia dituntut hukuman mati.
Bertens menjelaskan ajaran Socrates sebaagai berikut ini.
Ajaran itu ditujukan untuk menentang ajaran relativisme sofis, Socrates memulai
filsafatnya dengan bertolak dari pengalaman sehari-hari. Akan
tetapi, ada perbedaan yanag amat penting antara orang Sofis dan Socrates. Socrates
tidak menyetujui relatifisme kaum sofis.
Menurut
pendapat Socrates ada kebenaran objektif, yang tidak bergantung pada saya atau
pada kita. Ini memang pusat permasalahan yang dihadapi oleh Socrates. Untuk
membuktikan adanya kebenaran yang objektif, Socrates menggunakan metode
tertentu. Metode itu bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan.
Ia menganalisis pendapat-pendapat. Setiap orang mempunyai pendapat mengenal
salah dan tidak salah, misalnya. Ia bertanya kepada negarawan, hakim, tukang,
pedanggang, dan sebagainya. Menurut Xenophon, ia bertanya tentang salah dan
tidak salah, tidak adil, adil, berani dan pengecut, dll. Socrates selalu
menganggap jawaban pertama sebagai hipotesis, dan dengan jawaban-jawaban lebih
lanjut ia menarik konsekuensi-konsekuensi yang dapat disimpulkan dari
jawaban-jawaban tersebut. Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat
dipertahankan, karena menghasilkan konsekuensi yang mustahil maka hipotesis itu
diganti dengan hipotesis lain lalu hipotesis kedua ini diselidiki dengan
jawaban-jawaban lain, dan begitulah seterusnya. Sering terjadi percakapan itu
berakhir dengan aporia (kebingungan).
Akan tetapi, tidak jarang dialog itu mengahasilkan suatu definisi yang dianggap
berguna. Metode yang digunakan Socrates biasanya disebut dialegtika dari kata kerja yunani dialegsthai yang berarti berckap-cakap atau berdialog.[3] Metode Socrates dinamakan dialegtika karena dialog mempunyai peranan penting di dalamnya. Di
dalam traktatnya tentang mertafisika, Aristoteles membrikan catatan mengenai
metode Socrates ini. Ada dua penemuan, katanya, yang menyangkut Socrates,
kedua-duanya berkenaan dengan dasar pengetahuan. Yang pertama ialah ia
menemukan induksi dan yang kedua ia
menemukan definisi. Dalam logikanya
Aristoteles menggunakan istilah induksi tatkala pemikiran bertolak dari
pengetahuan khusus, lalu menyimpulkan pengetahuan umum. Itu dilakukan oleh
Socrates. Ia betolak dari contoh-contoh kongkret, dan dari situ ia menyimpulkan
pengertian yang umum. Misalnya Socrates ingin mengetahui apa yang dimaksud
orang dengan arête (keutamaan). Nah,
ada banyak orang yang mempunyai keahlian tertentu yang dianggap mereka massing-masing
mempunyai arête. Karena itulah
Socrates bertanya kepada tukang besi, apa keutamaan bagi mereka; kepada
negarawan, filosof, pedagang , dan sebagainya. Ciri-ciri keutamaan bagi mereka
masing-masing tentulah tiddak sama, tetapi ada ciri-ciri yang sama: artinya ada
ciri keutamaan yang di sepakati oleh masing-masing dari mereka. Socrates
mengupayakan sifat umum keutamaan dengan cara menyebut ciri yang disetujui
bersama dan menyisihkan ciri khusus yang tidak disetujui bersma. Itulah cara
membuat definisi tentang suatu objek. Dari usaha ini Socrates menemukan
definisi, penemuaannya yang kedua, kata Aristoteles. Tentu saja penemuan kedua
ini berhubungan erat dengan penemuan pertama tadi karena definisi ini diperoleh
dengan jalan mengadakan induksi itu. Bagi kita, yang sudah bisa membentuk dan
menggunakan definisi, barang kali merasakan definisi itu bukan sesuatu yang
amat penting, jadi bukan suatu penemuan yang berharga. Akan tetapi, bagi
Socrates pada waktu itu penemuan definisi bukanlah hal yang kecil maknanya; penemuan
inilah yang akan dihantamkannya kepada
relatifisme kaum sofis. Orang sofis beranggapan bahwa semua pengetahuan
adalah relatif kebenarannya. Tidak ada pengetahuan yang bersifat umum. Dengan
definisi itu Socrates dapat membuktikan kepada orang sofis bahwa pengetahuan
yang umum ada, yaitu definisi itu. Jadi, orang sofis tidak seluruhnya benar:
yang benar ialah sebagian pengetahuan bersifat umum dan sebagian bersifat
khusus; yang benar ialah yang khusus
itulah pengetahuan yang kebenarannya relatif. Mari kita ambil contohnya: apakah
kursi itu? Kita periksa seluruh –kalo bisa – kursi yang ada di dunia ini. Kita menemukan kursi hakim, ada
tempat duduk dan sandaran, kakinya empat, dari bahan jati; kita lihat kursi
malas, ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua, dari besi anti karat; kita
periksa kursi makan, ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga, dari rotan:
begitulah seterusnya. Nah, kita lihat pada setiap kursi itu selalu ada (1)
tempat duduk dan (2) sandaran. Kedua ciri ini terdapat pada setiap kursi.
Ciri-ciri yang lain tidak dimiliki oleh semua kursi tadi. Maka semua orang akan
sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang bersandaran. Perhatikanlah, semua orang akan sepakat,[4]
berarti ini merupakan kebenaran objektif-umum, tidak subjektif-relatif.
Tentang jumlah kaki, bahan, dan sebagainya merupakan kebenaran yang relatif.
Jadi, memang ada pengetahuan yang umum, itulah definisi.
Bukti adanya kesepakatan umum itu, pengertian umum itu,
definisi itu adalah bila kita memesan kursi pada tukang kursi. Kita cukup
mengatakan agar tukang kursi membuat kursi buat kita, dengan tidak usah
mengatakan “buatkan kursi yang ada tempat duduk dan sandaranya”. Mengapa tidak
usah? Karena tukang kursi itu telah mengetahui, karena merupakan kebenaran umum
bahwa kursi tentulah ada tempat duduk dan sandaranya. Yang perlu ditulis dalam
pesan itu ialah ciri-iri lain yang tidak merupakan kesepakatan umum. Harus kita
sebutkan agar dibuatkan kursi kaki empat bahan kayu jati, dan sifat khusus
lainya yang dikehendaki. Ciri umum itu disebut ciri esensi dan semua ciri khusus itu disebut ciri aksidensi.[5]
Definisi ialah penyebutan semua ciri esensi suatu objek dengan menyisihkan
semua ciri aksidensinya.
Dengan mengajukan definisi itu Socrates telah dapat “menghentikan”
laju dominansi relatifisme kaum sofis. Jadi, kita bukan hidup tanpa pegangan;
kebenaran sains dan agama dapat dipegang bersama sebagiannya, diperselisihkan
sebagiannya. Dan orang Athena mulai kembali memegang kaidah sains
dan akidah agama mereka.
Plato
memperkokoh tesis Socrates itu. Ia
mengatakan kebeneran umum itu memang ada. Ia bukan dicari dengan
induksi seperti pada Socrates, melainkan telah ada “disana” di alam ide. Kubu
Socrates semkain kuat. Orang sofis semakin kehabisan pengikut, ajaran bahwa
kebenaran itu relatif semakin ditinggalkan, semakin tidak laku. Orang sofis
kalap, lalu menuduh Socrates merusak mental pemuda dan menolak tuhan-tuhan.
Socrates diadili oleh hakim Athena. Di sana ia mengadakan pembelaan
panjang-lebar yang ditulis oleh muridnya, Plato, di bawah judul apologia (pembelaan). Dalam pembelaan
itu ia menjelaskan ajaran-ajarannya, seolah-olah mengajari semua orang yang
hadir di pengadilan itu. Socrates dinyatakan bersalah dengan perbandingan 280
(281) yang menyalahkan Socrates dan 220 yang membenarkannya. Jadi kalah suara
60 (61), ia dijatuhi hukuman mati. Seandainya Socrates memilih hukuman dibuang
keluar kota, tentu hukuman itu akan diterima oleh hakim tersebut. Tetapi
Socrates tidak ingin meninggalkan kota asalnya. Socrates menawarkan hukuman
denda 30 mina (mata uang Athena waktu itu). Pilihan ini ditolak oleh para hakim
karena dianggap terlalu kecil, terutama karena Socrates dalam pembelaanya
dirasakan telah menghina hakim-hakimnya. Biasanya hukuman mati dilakukan dalam
tenggang waktu 12 jam dari saat diputuskannya hukuman itu. Akan tetapi, pada
watu itu ada satu perahu layar Athena yang keramat sedang melakukan perjalanan
tahunan ke kuil di pulau Delos, dan menurut hokum Athena, hukuman mati baru
boleh dijalankan bila perahu itu sudah kembali. Oleh karena itu, satu bulan
lamanya Socrates tinggal dalam penjara sambil bercakap-cakap dengan para
sahabatnya. Salah seorang diantara mereka, yaitu Kriton, mengusulkan supaya
Socrates melarikan diri tetapi Socrates menolak. Di dalam dialog yang berjudul
Pharidon. Plato menceritakan percakapan Socrates dengan para murdinya pada hari
terakhir hidupnya dan ia melukiskan pula bagaimana Socrates pada suatu senja.
A. GNOTI
SEAUTON
Menurut
Socrates, manusia, dengan pikiran atau pengetahuannya, seolah melangkah maju
dari upaya menyingkap misteri satu menuju misteri-misteri lain yang kian mekar,
di dalam hidupnya. Manusia, dengan pikiran atau pengetahuannya, seolah bergerak
dari satu ketidaktahuan menuju ketidaktahuan baru dalam hidupnya. Kenyataan
itulah yang membuat ilmu pengetahuan makin terus berkembang di dalam tatanan
filosofi, agar mampu memburu dan membunuh naga-naga ketidaktahuan dan kejahatan
baru (kejahatan profesional) yang bertumbuh berbarengan dengan perkembangan
pikiran, pengetahuan, dan keilmuwan manusia.[6]
Gnotie Seauton,
dalam hal ini, menunjukkan sebuah kepentingan kemanusiaan yang bersifat
fundamental dalam hal memahami dan mengerjakan pikiran, yang merupakan salah
satu ciri keberadaan yang khas manusia itu. Intinya pada analisis diri dan
pemahaman diri untuk mencapai pengetahuan dan tingkah laku yang lebih baik.
Manusia, melalui pengetahuannya itu, memperoleh keuatan, tanggung jawab,
kesadaran bati, kematangan ,pemikiran atau intelektual dan rasa percaya diri
untuk membangun dirinya sebagai makhluk beradab yang makin matang (dewasa),
tahu diri, dan berendah hati.
Manusia,
disamping membutuhkan kerendahan hati, juga membutuhkan kesabaran, ketekunan,
dan keteguhan batin untuk menegur dan mendididk diri. Ia butuh kedisiplinan,
tanggung jawab, dan optimis hidup didalam mengejar pengetahuan atau kearifan
dimaksud.
Filsafat, karena
itu, hendak menunjukkan manusia bukan hanya bertugas mengisi “ingin tahu-nya
dengan pikiran dan keterampilan-keterampilan teknologis (praktis operasional
yang sempit atau terbatas).”[7]
Justru sebaliknya, filsafat ingin melampauinya dan menempatkkan perjuangan
manusia yang berpengatahuan itu pada ini pergumulan dan tugas memanusiakan
manusia sebagai manusia beradab dan berbudaya didalam keutuhan eksistensinya.
Manusia, secara eksistensial “multidimensi”, dan karenanya, pengembangan
pikiran dan pengetahuannya pun, hendaknya merupakan sebuah tugas eksistensial
yang utuh dalam keberbagaian dimensinya itu.
B. Maieutica-Technic
Pandangan
Socrates yang terpenting adalah bahwa pada diri setiap manusia terpendam jawab
mengenai berbagai persoalan dalam dunia nyata. Karena itu setiap orang
sesungguhnya bisa menjawab semua persoalan yang dihadapinya. Masalahnya adalah
pada orang-orang itu, kebanyakan mereka tidak menyadari bahwa dalam dirinya
terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Karena itu
menurut Socrates, perlu ada orang lain yang ikut mendorong mengeluarkan ide-ide
atau jawaban yang masih terpendam. dengan perkataan lain perlu semacam bidan
untuk membantu kelahiran sang ide dari dalam kalbu manusia. Maka pekerjaan
Socrates sehari-hari adalah berjalan-jalan di tengah kota, berkeliling di
pasar-pasar untuk berbicara dengan semua orang yang dijumpai untuk menggali
jawaban-jawaban terpendam mengenai berbagai persoalan. Dengan metode tanya
jawab yang disebut metode Socrates ini akan timbul pengertian yang disebut “maieutics” (menarik keluar seperti yang
dilakukan bidan). Pengertian tetang diri sendiri ini menurut Socrates sangat
penting buat tiap-tiap manusia Adalah kewajiban setiap orang untuk mengetahui
dirinya sendiri terlebih dahulu kalau ia ingin mengerti tentang hal-hal lain
diluar dirinya. Ia mempunyai semboyan “belajar
yang sesungguhnya pada manusia adalah belajar tentang manusia”.[8]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Socrates adalah sorang filsuf Yunani yang hidup
pada tahun 469-399 sebelum Masehi. Ia memiliki pendapat bahwa membangkitkan
dalam diri manusia rasa cinta akan kebenaran dan kebaikan (Philosophia) yang membantu manusia berpikir dan hidup lurus. Socrates
memiliki dua kebijakan, yaitu Gnotie-Seauton
atau kenalilah dirimu dan Maieutica-Technic
atau seni kebidanan.
Gnotie-Seauton,
dalam hal ini, menunjukkan sebuah kepentingan kemanusiaan yang bersifat
fundamental dalam hal memahami dan mengerjakan pikiran, yang merupakan salah satu
ciri keberadaan yang khas manusia itu. Intinya pada analisis diri dan pemahaman
diri untuk mencapai pengetahuan dan tingkah laku yang lebih baik.
Maieutica-Technic,
dalam pemikiran Socrates adalah bahwa pada diri setiap manusia terpendam jawab
mengenai berbagai persoalan dalam dunia nyata. Karena itu setiap orang sesungguhnya
bisa menjawab semua persoalan yang dihadapinya. Masalahnya adalah pada
orang-orang itu, kebanyakan mereka tidak menyadari bahwa dalam dirinya
terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Karena itu
menurut Socrates, perlu ada orang lain yang ikut mendorong mengeluarkan ide-ide
atau jawaban yang masih terpendam. dengan perkataan lain perlu semacam “bidan”
untuk membantu kelahiran sang ide dari dalam kalbu manusia.
B. SARAN
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
tercapainya kesempurnaan penulisan makalah di kemudian hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Salam,
Burhanuddin.2012.Pengantar Filsafat.Jakarta:PT
Bumi Aksara.
Adisusilo
Sutarjo.2013.Sejarah Pemikiran Barat Dari
Yang Klasik Sampai Yang Modern.Jakarta:Rajawali Pers.
[1] Burhanuddin Salam,
Pengantar Filsafat (Jakarta:PT Bumi
Aksara, 2012)
[2]
Sutarjo
Adisusilo, Sejarah Pemikiran Barat Dari
Yang Klasik Sampai Yang Modern.(Jakarta:Rajawali Pers).2013
[3]
Ibid. hlm.
[7]
Sutarjo
Adisusilo, Sejarah Pemikiran Barat Dari
Yang Klasik Sampai Yang Modern.(Jakarta:Rajawali Pers).2013. hlm.
Kok engga ada halamanya ya di footnotenya gimana ngecek ny
ReplyDelete